SUTAMI – Hari ini, delapan puluh tahun kemerdekaan Republik Indonesia, kita dihadapkan pada tantangan baru yang tak kalah berat, krisis iklim dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat pesisir dan nelayan kecil.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Niko Amrulloh menilai, nelayan tradisional yang berada di garis depan peradaban bahari justru masih terjebak dalam kemiskinan struktural, akses terbatas pada energi dan pasar, serta minim perlindungan dari dampak krisis iklim.
Menurutnya, laut kita masih sering diperlakukan sebagai halaman belakang. Data NOAA menunjukkan suhu lautan global mencapai rekor tertinggi selama 15 tahun berturut-turut, sementara di pesisir, abrasi, banjir rob, dan gelombang tinggi kian menggerus ruang hidup nelayan.
HUT ke-80 Kemerdekaan RI harus menjadi momentum untuk membumikan kembali amanat konstitusi. “Kita memerlukan peta jalan nasional: melindungi ekosistem pesisir, memperkuat koperasi nelayan sebagai pilar ekonomi kerakyatan, memperluas akses pasar dan teknologi, serta memastikan keterlibatan nelayan dan perempuan pesisir dalam perumusan kebijakan,” jelasnya.