Lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Namun, kehidupan pesisir malah makin tidak pasti. Kenaikan muka air laut, penurunan tanah, abrasi, dan banjir tidak datang sebagai bencana tiba-tiba—melainkan berlangsung perlahan, melalui keseharian, perubahan senyap, dan kelalaian struktural.
Goethe-Institut Indonesien bekerja sama dengan Bremen Centre for Building Culture menghadirkan pameran fotografi “Living at the Urban Seafront“, beberapa waktu lalu.
Pameran ini menampilkan 47 karya dari 17 fotografer Indonesia dan Jerman, menyusuri pengalaman dan kondisi masyarakat yang tinggal di tepian kota dan laut—dari Jakarta, Bekasi, Gresik, Makassar hingga Bremen (Jerman).
Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesien, Dr. Ingo Schöningh menyampaikan, Perubahan iklim adalah fenomena global yang harus kita hadapi dengan strategi mitigasi. Salah satu strategi dalam kaitan dengan kenaikan permukaan air laut adalah ketahanan kawasan pesisir.
Dialog di antara kota-kota pesisir yang begitu berbeda seperti Bremen dan Jakarta mengungkapkan keberagaman tanggapan. “Sebagai lembaga kebudayaan, kami mengusung misi untuk meningkatkan kesadaran – karena melalui pemecahan masalah bersamalah pemahaman, keterhubungan, dan harapan bisa tumbuh,“ katanya.
Lewat foto di pameran ini, terpampang kondisi bagaimana masyarakat pesisir tepian kota hidup bersama “air”. Hidup dan bertahan bersama banjir Rob sejauh mereka mampu bertahan, sebelum benar-benar harus pergi ketika tempat tinggalnya hilang – tenggelam.
Selain foto-foto tepian kota di Indonesia, dipamerkan pula beberapa foto kondisi tepian di kota Bremen, Jerman. Kontras tentunya, di Bremen, sungai diberi ruang untuk meluap secara terkendali – agar air memiliki tempat mengalir sebelum mencapai pemukiman, sebagai strategi hidup bersama air.